AsriTadda.com
 

Seminar Nasional Balitbang Kemendiknas: Penyelerasan Pendidikan Tinggi Dengan Dunia Kerja

Sebelum membawakan materi Penyelerasan Pendidikan Tinggi dengan Dunia Kerja
Sesaat sebelum acara dimulai…narsis!
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional mengadakan Seminar Nasional Peyelerasan Pendidikan dengan Dunia Kerja pada tanggal 14-16 Oktober 2010.

Acara ini diselenggarakan di Hotel Horison, Bekasi dan dihadiri sejumlah perwakilan perguruan tinggi, dosen, guru dan praktisi pendidikan luar sekolah.

Sebagai pembahas dan penelaah masalah, panitia menghadirkan beberapa orang anggota DPR Komisi X yang antara lain membidangi pendidikan.

Suasana Seminar Nasional Penyelerasan Pendidikan Tinggi dengan Dunia Kerja
Suasana seminar di Hotel Horison Bekasi
Oleh panitia, saya diundang menjadi salah satu pembicara untuk sesi seminar Penyelerasan Pendidikan Tinggi Dengan Dunia Kerja, bersama dengan Romo Ir. Andre Sugijopranoto, Direktur Akademi Tehnik Mesin Industri (ATMI) Surakarta.

Saya sendiri dalam kapasitas sebagai salah satu alumni perguruan tinggi yang menempuh profesi sebagai wirausaha melalui perusahaan AstaMedia Group dan AstaMedia Blogging School.

Seminar ini dimoderatori oleh Hendarman, Ph.D dan dihadiri salah seorang anggota Komisi X DPR RI Hj. Popong Otje Djundjunan.

Seminar berlangsung cukup meriah karena topik yang dibahas memang begitu menantang. Nah, di dalam seminar ini, saya menyajikan makalah berjudul “Penyelerasan Pendidikan Tinggi Dengan Dunia Kerja” seperti yang tertulis di bawah ini:

PENDAHULUAN

Dari tahun ke tahun kita masih terus bergulat dengan pengangguran. Sebuah kenyataan yang sangat mencekam hati mengingat setiap tahun sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini kembali merilis ribuan alumni.

Dengan tingkat pertumbuhan lapangan kerja yang rendah, dikhawatirkan pengangguran akademik (juga sama halnya dengan pengangguran lainnya), akan semakin bertambah dan terus bertambah dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta penganggur atau sebanyak 8,46 persen dari total penduduk. Pengangguran di tingkat SD-SMP berjumlah 4,8 juta orang, sedangkan di jenjang SMA-universitas mencapai 4,5 juta orang.

BACA JUGA:  Catatan dari Acara Pertamax Roadshow Motivamor di Unhas

Di sisi lain, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37% lulusan perguruan tinggi. Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi dan perkembangan teknologi yang semakin meminimalkan peran tenaga manusia.

Sebagaimana dimaklumi, salah satu motivasi mendasar untuk mengikuti proses pendidikan adalah untuk dapat bekerja dengan penghasilan yang layak menghidupi keluarga. Jika keadaan ini tidak segera dikendalikan, maka sejumlah dampak negatif akan bermunculan, dan ujung-ujungnya adalah bertambahnya kemiskinan.

Padahal, praktek kehidupan bernegara diselenggarakan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, setidaknya jauh dari kemiskinan. Membicarakan dunia pendidikan, lapangan kerja dan sejumlah aspek kehidupan yang lain memang senantiasa bermuara pada upaya pengetasan kemiskinan.

PENDIDIKAN TINGGI

Sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa, pendidikan tinggi merupakan kelanjutkan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyakarat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian.

Kenyataannya, praktek penyelenggaraan pendidikan tinggi di negeri ini, harus diakui, masih jauh dari yang diharapkan.

Angka-angka statistik pengangguran yang tersaji setiap tahun, menjadi salah satu parameter untuk kembali mempertanyakan sistem pendidikan kita, termasuk proses pendidikan tinggi; apakah benar-benar bisa menghasilkan anggota masyarakat yang berdaya saing unggul atau belum.

Dalam perkembangannya, paradigma pendidikan tinggi kita memang kelihatan lebih condong berorientasi untuk menghasilkan alumni pencari kerja (job seekers), bukan alumni pencipta lapangan kerja (job creator).

Sampai saat ini, sekitar 82,2 persen lulusan perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan pekerjaan, ternyata bekerja sebagai pegawai.

BACA JUGA:  Buka Puasa Bersama AstaMedia Group dan Panti Asuhan Nurul Fatimah

Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat

Selain itu, pendidikan tinggi juga terbukti belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah.

Belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri. Jadilah Tri Dharma Perguruan Tinggi nyaris tinggal bacaan saja, padahal di situlah entitas pendidikan tinggi berada; pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat.

Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Hampir setiap tahun, atau di waktu-waktu tertentu, kita disajikan dengan berita tawuran mahasiswa, juga tawuran para siswa.

Tentunya ada juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah jauh lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu.

PENGANGGURAN TERDIDIK

Sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah mahasiswa baru yang mendaftar ke perguruan tinggi setiap tahun, tetapi diyakini jumlahnya terus meningkat.

Hal ini didukung oleh semakin bertambahnya jumlah perguruan tinggi, baik yang berbentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Politeknik, atau Akademi.

Yang pasti, jumlah pengangguran terdidik di Indonesia setiap tahun terus bertambah, apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di tiap Perguruan Tinggi (PT).

Tahun 2008, Indonesia mendapat ranking 1 di Asia dalam jumlah pengangguran tertinggi. Hal ini dianggap mengancam stabilitas kawasan Asia mengingat secara keseluruhan jumlah penduduk Indonesia lebih besar daripada Negara-negara tetangga.

BACA JUGA:  Laporan dari Ngobras Telkomsel di UIN SUSKA Pekanbaru Riau

Meskipun ditengarai turun sekitar 9% dari tahun 2007, tapi secara umum angka ini tetap saja dianggap yang tertinggi di Asia.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah sarjana (S-1) pengangguran pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang.

Setahun kemudian, tepatnya Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau sekitar 626.200 orang. Tiap tahun rata-rata 20% lulusan perguruan tinggi kita menjadi pengangguran.

Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik.

Belum ditambah pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) terus meningkat. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Jika dikaji dari perspektif sosiologi, meningkatnya pengangguran terdidik jelas membahayakan. Para penganggur itu sangat rentan melakukan tindak kriminalitas.

Bahkan dengan kemampuan intelektual yang dimiliki, para sarjana pengangguran itu bisa menciptakan kejahatan baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Dari perspektif ekonomi, para pengangguran ini akan menjadi beban ekonomi keluarga, masyarakat bahkan bangsa ini. Mereka bahkan dapat menjadi pemicu lahirnya kemiskinan model baru; mereka miskin bukan karena tidak tahu apa-apa, melainkan akibat sulitnya mengakses lapangan kerja.

[Baca Makalah Selengkapnya di Sini] atau [DOWNLOAD di sini]

2 KOMENTAR

Comments are closed.